Kamis, 05 Januari 2012

Analisis puisis

,
Hi bloggers, berikut analisis PUISI Dalam Kereta karya Chairil Anwar. Selamat membaca J
Dalam Kereta

oleh : Chairil Anwar

15 Maret 1944


Dalam kereta.
Hujan menebal jendela.

Semarang, Solo, makin dekat saja
Menangkup senja.

Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.

Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.

Sajak “Dalam Kereta” dibuka oleh dua baris berbunyi:
Dalam Kereta
Hujan menebal jendela
Dua baris itu langsung menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil menggambarkan suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada
(1) di “dalam kereta”,
(2) masih pula keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.
Tentu saja tidak semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat akan merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang jatuh cinta atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan menikmati rinai hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam dada. Hanya saja, baris-baris berikutnya lebih menunjukkan aura mencekam ketimbang riang.

Semarang, Solo? Makin dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama
Dua baris berikutnya dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju Semarang dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota tujuan sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah Chairil sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum tahu tujuan? Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.
Kendati belum jelas dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup jelas punya tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan “menguak purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara purnama akan dikuak di Solo.
Yang jelas, di situ Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan “menguak purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam kosa kata sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan obsesi dan tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti hentakan dari ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Objek dari target atau obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal abstrak yang seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh, indah, pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau tantang-menantang.
Caya menyayat mulut dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Tiga baris terakhir sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan mencekam yang sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu pukulan ironi yang menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:
Semarang atau Solo, dua kota yang dibayangkan sebagai tempat untuk “menangkup senja” dan “menguak purnama”, ternyata “sengaja didatangi” justru untuk membiarkan diri, mulut dan mata disayat ca(ha)ya, sayatan yang begitu kuat sampai-sampai mampu menjengkingkan kereta dan jiwa. Di situlah irononya bercokol.
KESIMPULAN
-         Sajak ini begitu imajinatif menggambarkan rasa pedih dan perih. Fakta bahwa uraian imajinatif ihwal rasa pedih dan perih itu digambarkan melalui metafora “kereta”
Perlahan-lahan pembaca diajak merasakan suasana pedih dan perih yang sedetik demi sedetik makin menyayat-nyayat, dari mulai mata… mulut… lantas terus turun menyayati dada.Ada sejumput kesan masokisme di situ; tentang Chairil yang mengajak pembaca menikmati segala pengalaman pedih dan perih yang menghunjam dengan perlahan namun dengan tingkat kepastian yang –tak bisa diragukan—akan terus merambat hingga dada.
Dan Chairil memercayakan semua lakon (bernada) masokis itu dipanggungkan di atas gerbong-gerbong kereta, bukan truk atau sedan atau kapal laut. Kenapa dengan kereta? Selain soal fakta bahwa Chairil sering bepergian ke kota-kota yang jauh dengan kereta dan arti penting kereta pada zaman itu, adakah alasan lain kenapa Chairil memilih kereta?
Kereta memang jauh lebih memungkinkan pengalaman mencekam dan liris itu ditelan dalam dada, lebih dari kapal laut atau pesawat terbang apalagi mobil. kereta memiliki ruang yang memungkinkan imajinasi lebih leluasa berkembang

1 comments:

  • 31 Oktober 2019 pukul 07.57
    Unknown says:

    Terima kasih, sangat bermanfaat ilmunya ^-^

Posting Komentar

 

life is like climbing Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger Templates